Minggu, 27 Februari 2011

POLITIK RAKYAT DAN GAGALNYA PEWARIS PARA NABI

Oleh: Azis Ashari El-Maulana*

Politik dalam kamus ilmiah populer berarti ilmu kenegaraan/tata negara, pemikiran yang bertujuan sebagai kata konkrit untuk mendapatkan kekuasaan. Pada umumnya kata politik ini disandangkan pada kata partai sehingga menjadi Partai Politik. Partai politik merupakan sarana meraih kekuasaan dengan segala bentuk terdisinya. Perbincangan seputar politik biasanya dilakukan oleh kaum terpelajar terutama oleh sekelompok orang yang berkepantingan mengelola negara.
Seiring perjalanan waktu. Politik tidak hanya menjadi ‘lagu’nya para elit partai dan kelompok terpelajar. Hari ini orang awam (orang yang bukan elit bangsa) pun bicara soal politik dan tidak hanya itu mereka juga bahkan berpolitik, yang tentunya politik ala masyarakat awam.
Sesuai dengan kapasitas pengetahuan dan pengalaman mereka yang sederhana cara mereka berpolitikpun sederhana, yang kongkrit-kongnkrit saja. Tidak perlu dengan konsep yang berat-berat dan bernbelit-belit tentang pertahanan negara, pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya, karena itu akan semakin membuat mereka pusing. Persoalannya dari sejak mereka ‘diajak’ berpolitik sejak orde baru dan pasca reformasi mereka tidak merasakan dampak dari konsep dan janji-janji para politisi itu, akhirnya mereka merasa ‘dikorbankan’ oleh para ‘petinggi negara’ itu bahkan para ulama’ (Kiai) pun juga ikut meng’korbankan’ mereka. Buktinya hampir sekian figur (cakades/caleg/cabup dll) yang diusung oleh ulama’ (Kiai) ternyata tidak bisa berbuat apa-apa. Orang bilang ‘maklum mereka ustadz, bagaimana mereka bisa bicara ekonomi dan pendidikan, wong yang jadi aktifitas kajiannya safina- sullam’. Mereka bukan didikan khusus ‘kenegaraan’. Akhirnya menjadi nyatalah hadits nabi idza wusidal amru ila ghairi ahlihi, fantadhiri al-sa’ah (jikasuatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat-saat kehancurannya). Figur yang di usung ulama tidak bisa memberikan kontribusi yang jelas bagi kepentingan masyarakat, malah mereka hanya menjadi makelar proyek.
Maka menjadi jelaslah mengapa rakyat (masyarakat awam-khususnya) hari ini begitu sederhana memaknai politik. Sesederhananya kehidupan mereka yang tidak pernah jauh bermimpi akan situasi dan kondisi 10-30 tahun yang akan datang. Politik mereka sederhana bahkan sangat sederhana. Bagi mereka politik itu dhu’uman berras, minyak goreng, uang dll (pemberian dalam bentuk materi) sebagainya.
Kita semua pasti sudah tahu issu yang berkembang-penulis tidak menganggap issu tetapi fakta- bahwa sebelum proses pemilihan Legislatif 9 juni lalu telah terjadi barter antara Caleg dan masyarakat pemilih. Seperti dua pelaku pasar yang menjual barang dan yang membeli barang. Kalau yang dipasar memang sudah wajar karena ada barang yang dapat dimanfaatkan. Dalam pemilu...??. harga /tangan tidak semahal biaya bak sampah ditrotoar dan bervariasi. Muali dari seharga rokok (10.000) hingga ayam potong (50.000). Ulama (Kiai) yang telibat dalam suasana politikpun tidak lepas dari jeratan bahkan sebagian mereka berfatwa ; pemberian uang itu boleh dan tergolong hadiah. Dan secara akal apakah mungkin setiap Caleg akan memberikan hadiah kepada masyarakat pemilihnya hingga berhutang ratusan juta rupiah.
Pengamalan politik masyarakat yang sederhana ini tidak terjadi begitu saja. Terdapat proses panjang yang akhir kisahnya menyebabkan mereka berpolitik secara sederhana/praktis. Tentu hal itu bukan karena masyarakat yang semakin cerdas, tetapi karena faktor lain seperti faktor kejenuhan dan kebosanan dengan proses politik di negeri ini. Pergantian pemimpin tidak mampu memberikan banyak hal yang dibutuhkan oleh masyarakat. baik dari tingkat kepala Desa, Bupati, Legislatif hingga Presiden. Malah terdapat indikasi semakin maraknya praktek korupsi yang dilakukan oleh pemimpin bangsa. Dan para wakil rakyat yang mereka angkat hanya menjadi ‘tangan kanan’ tokoh tertentu untuk mendapat proyek. Sungguh ironis.
Kenyataan ini dimasyarakat tidak dapat dibantah. Bergulir seperti bola liar tidak dapat dihentikan. Bahkan para tokoh (kiai) pun ikut memainkan bola itu. Sehingga lengkaplah segitiga siku-siku dimana dari tiga siku-siku itu sama panjang dan saling menopang. Dan lahirlah sebuah teori “Hanya orang gila yang menganggap ‘sedekah’ itu haram”.

Gagalnya pewaris para Nabi.
Sebenarnya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat begitu sederhana dalam berpolitik. Selain karena alasan diatas terdapat juga warisan kultural yang juga memberikan efek pada proses pemilu kali ini, yaitu hadiah-hadiah yang kerap diberikan para cakades (calon kepala desa) dalam proses pilkades. Kiai bukan tidak tahu, pemerintah daerah dan aparatnya juga, tetapi mereka tetap tidak ‘harus’ suudzzanni dan mencari kambing hitam. Wong diduga mereka juga ikut mengambil keuntungan. Sehingga money politics must go on.
Nah, kenyataan ini merupakan lambang gagalnya para tokoh bangsa ini. Baik dari kalangan elit pemerintah maupun tokoh masyarakat yang selama ini menjadi panutan masyarakat dalam berkehidupan. Terutama para kiai yang terlibat aktif dengan hiruk pikuk pesta rakyat itu. Dan Kiai adalah tokoh yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Setiap kata dan tindakannya akan menjadi cermin bagi masyarakat itu sendiri.
Realitas yang terjadi hari ini adalah kiai tidak lagi mampu menggiring masyarakat kearah yang dicita-citakan Islam. Yakni masyarakat yang riligius dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Mengapa begitu? Proses pilkades, Pileg dan Pil- yang lainlah jawabannya.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis pada pelaksanaan pilkades disebuah desa di kecamatan Pegantenan dan pemilu legislatif/Pileg beberapa waktu yang lalu melahirkan kesimpulan bahwa 99,99% masyarakat Pegantenan menerima ‘hadiah’ dari caleg/cakades. Sungguh ironis, daerah yang dipagari pondok pesantren dan kalau mencari hampir kesulitan untuk menemukan masyarakat yang bukan lulusan pesantren malah menjadi sarang ‘transaksi’ politik.
Jika ‘tradisi’ itu terus berkelindan dan mengalir, maka tentu keinginan untuk mencapai tatanan masyarakat yang adil dan makmur hanya akan menjadi cita-cita. Kenapa demikian, karena para pemimpin yang sudah terpilih akan menyiapkan amunisi yang lebih banyak untuk naik kepanggung yang lebih besar. Dengan jalan lurus itu tidak mungkin, diukur dari situasi saat ini. Lalu bagaimana lagi caranya kalau bukan dengan korupsi.
Dalam ajaran Islam barang dalam bentuk apapun yang diberikan oleh seseorang pada seorang tertentu yang mempunyai jabatan adalah dilrang. Sebagaimana seorang sahabat (petugas zakat) yang menerima hadiah pada saat mengumpulkan zakat dari masyarakat pada saat itu (dalam kitab Riyadushholihien). Hadiah itu kemudian oleh Rasulullah tetap dimasukkan sebagai kekayaan Baitul Maal. Hadits serupa dapat dicari dalam kitab Bullughul Maraan dan kitab lainnya yang juga membahas kepemimpinan.
Semestinya ulama/kiai dapat mencerdaskan masyarakat dalam hal itu. Bahwa menerima pemberian dari orang yang berkepentingan adalah dilarang. Tetapi realitas telah berbicara bahwa transaksi itu telah terjadi bahkan dibawah pohon mangga sang kiai. Ini menujnjukkan gagalnya ‘pewaris para Nabi’ tersebut dalam menahkodai kapal kehidupan yang sedang membawa penumpangnya (masyarakat) kearah keridhoan Allah. Jangan samapai hadits ini terjadi atau bahkan sedang berlangsung seiring dengan musibah yang kerap meimpa bangsa ini, yaitu; “apabila Riba telah menjadi sesuatu yang biasa pada suatu kaum, maka Allah akan mencabut keberkahan kaum tersebut” (Al-Hadits). Lalu tugas siapakah ini semua, membawa pulang para kabilah yang terlantar diujung malam; kehalaman masjid yang sepi itu ??? haruskah menunggu datang sang Imam Mahdi!.. Ihdinasshiraathal Mustaqiem, Shiraathalladziinan An’amta Alihim Ghairil Maghdlubi Alaihim Waladdlalliin.



*Penulis adalah warga Indonesia. Kiai muda yang dilahirkan di Desa Bulangan Barat kec. Pegantenan kabupaten Pamekasan Jawa Timur Indonesia. Hari ini aktif sebagai pengamat independent.& Aktifis HMI cabang Pamekasan.

moh. ilyas,

telah datang seorang teman, memberiku kekuatan terhadapku untuk bertahan, pada setiap kesulitan dan kesusahan
dialah kawanku, yang pernah bersama dalam sebuah pertempuran, melawan penjajah bernama malas dan keputus asaan
ilyas namanya, madura asli tempat kelahirannya, orang desa berotak kota
hanya mengabdi pada kebenaran dan cinta...

pada suatu waktu ia pernah pergi jauh, katanya untuk mengejar mimpinya dipulau dunia ketujuh, ...

kini ia datang, kembali dari dunia yang hilang..... bukan ilyas namanya, kalau tidak membawa cerita tentang kupu-kupu yang ditinggal pergi sanak keluarganya...

Moh. Ilyas
salam sukse kawan.... untuk tidak pernah lelah berjuang...
meski darah berceceran

iman, ilmu, amal

Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al-Mujadalah:11).

Minggu, 20 Februari 2011

Pengurus HMI cabang pamekasan 2011 di lantik

sekitar 30 pengurus HMI cabang pamekasan pimpinan Imam M. Lucky ahad (20/02/11) kemarin dilantik. pelantikan itu dipimpin langsung oleh Wasekum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB-HMI) Imam L Sahal.
ratusan undangan hadir memenuhi gedung serbagunan pamekasan untuk menyaksikan kegiatan sakral tersebut. sejumlah KAHMI turut hadir menyaksikan para kadernya dilantik pada hari itu, diataranya adalah Drs. Kadarisman Sastrodiwirjo yang saat ini menjabat wakil bupati Pamekasan, Ec. Ghazali alumni yang terjun sebagai pengusaha, khalifaturrahman birokrat dan sejumlah alumni lainnya.
acara pelantyikan itu juga dimeriahkan musik islami Salsa Maribo pimpinan Ir. Totok suhartono kepala Dina PU pamekasan. zis.