Sabtu, 24 Maret 2012

PEMUDA DAN SEMANGAT NASIONALISME

Oleh:
AZIS ASHARI ELMAULANA

Pemuda Dalam Bingkai Sejarah
Pemuda; the leader of tomorrow. Kata-kata ini amat sering kita jumpai, baik di artikel, buku-buku motivasi, sms, bahkan kerap muncul di “status” facebook. Perbincangan tentang peran kaum muda (pemuda) tidak hanya menjadi trend diskusi hari ini, tetapi juga telah diperbincangkan oleh orang-orang terdahulu.
Dalam untaian sejarah, kaum muda telah mengukir ‘prestasi’ luar biasa sebagai agent of change. Pada masa penyebaran islam seorang pemuda bernama Usamah bin Zayd telah memimpin perang (jendral) ketika melakukan expansi ke wilayah romawi. Pada saat itu usia Usamah berkisar 17-19 tahun. Napoleon Bonaparte berusia 24 tahun (1795), menjadi jendral di prancis, dan Jendral Sudirman memimpin perang pada usia 27 tahun dan menjadi jendral besar pada usia 31 tahun . Serta kaum muda berprestasi hari ini baik dipolitik, ekonomi, olah raga dan lain sebagainya.
Di Indonesia kaum muda mengukir tinta emas dengan menjadi pelopor (agent) tegaknya bangsa yang bermartabat. Pada tahun 1908 mahasiswa STOVIA mendirikan organisasi social, ekonomi dan kebudayaan Budi Utomo. Pada 28 oktober 1928 para pemuda menoktahkan janji ‘sumpah pemuda’, sumpah pemuda inilah yang menjadi cikal bakal kemerdekaan NKRI. Pada tanggal 05 Februari 1947, Lafran Pani mendirikan organisasi mahasiswa muslim pertama bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), organisasi ini bukan hanya membidangi gerakan intelektual, tetapi juga memimpin ‘perang’ melawan belanda dan pembrontakan PKI ditanah air. Gerakan 1997-1998, sebuah gerakan yang dilakukan mahasiswa untuk menentang ‘rezim’ korup dan ‘diktator’ Suharto yang pada akhirnya lahirlah reformasi yang memaksa sang dikatator meletakkan jabatannya sebagai presiden pada bulan Mei tahun 1998.
Dari berbagai gerakan itu membuktikan bahwa Kaum muda telah tampil sebagai ‘juru kunci’ tegaknya perubahan. Pemuda -pada saat itu- tidak hanya menjadi ‘penikmat’ zaman tetapi mereka melakukan lebih untuk membuktikan bahwa dirinya manusia (khalifah fil’ard).
Pemuda Hari Ini
Hari ini kaum muda berada dipersimpang jalan. Mengapa tidak?!, berbagai peristiwa amoral justru didalangi oleh kaum muda ; Tindak perampokan, penyalahgunaan dan peredaran narkoba, perbuatan asusila, korupsi dan lain sebagainya. Kaum muda menjadi kelinci percobaan sekaligus domba aduan –domba yang kehilangan harapan hidup layak dan bermartabat.
Fasilitas teknologi, yang sejatinya dapat merangsang serta membantu proses pendidikan dan kedewasaan kaum muda sebagai the leader of tomorrow malah menjadi mediator (bagi mayoritas orang) untuk semakin tergelincir pada jurang kehancuran dan kenistaan. Alat teknologi yang semakin canggih, bukan menjadikan kaum muda semakin kreatif dan produktif, tetapi malah mengantarkan mereka menjadi kaum primitif dan hedonis. Wajah-wajah kaum muda hari ini tidak tergambar sebagai khalifah yang dinamis dan optimis tetapi lebih terlihat sebagai mahluk yang statis dan optimis.
Pemuda hari ini –seolah- tidak punya visi-misi hidup yang jelas. Mereka ‘terpanggang’ diatas pragmatism dan hedonism. Lebih terlihat sebagai artis dari pada aktifis (agent of social control dan agent of social change). Yang intinya kaum muda kebingungan dipersimpang jalan.
Mengembalikan Nasionalisme Kaum Muda
Penulis tidak bermaksud mengatakan bahwa kaum muda hari ini tidak memiliki semangat nasionalisme karena nasionalismenya telah hilang atau telah dicuri orang. Tetapi, mengembalikan nasionalisme yang dimaksud adalah meluruskan kembali niat kaum muda sebagai manusia sehingga berbuat selayak dan seharusnya sebagai manusia (khairunnas anfauhum linnas). Karena kita telah memilih tinggal di Indonesia, maka yang mesti diluruskan dan ditanamkan adalah semangat –niat- untuk membangun diri sebagai insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam serta bertanggungjawab terhadap terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi oleh Allah SWT .
Tolak ukur nasionalisme tidak sebagaimana yang dibiuskan televisi, membuktikan nasionalisme dengan mendukung kesebelasan timnas sepak bola indonesia melawan timnas Malaysia atau Negara lainnya. Juga tidak bisa diukur dengan memasang bendera merah putih didepan rumah atau kantor ketika mendekati tanggal 17 agustus, karena merayakan kemerdekaan RI.
Tolak ukur nasionalisme yang benar dan sebenarnya adalah bagaimana kita sebagai bagian dari bangsa indonesia melakukan pengabdian dengan peran terbaik sebisa dan semampu kita sebagai manusia dan sebagai orang Indonesia. Baik dilakukan secara individu maupun kelompok .
Kaum muda harus menjadi pembaharu untuk perubahan kearah yang lebih baik. dan hanya pemuda dan ‘orang gila’ lah yang dapat melakukannya.
Kaum muda harus lahir sebagai the leader of tomorrow, maka proses –pendewasaan- harus dilakukan sebelum kepemimpinan itu dipanggulkan kepundaknya. Ibarat akan berlayar kepulau seberang, maka perahu, peta dan berbagai keahlian harus disiapkan, diajarkan dan latihkan, sehingga, ketika sudah sampainya mereka pulau seberang itu tidak berdiri sebagai orang asing.
Maka sebelum anda berangkat, pesan saya, hati-hati selama menempuh perjalanan dan semoga sampai ditempat tujuan………. Terima kasih.

*Keberanian meradang resiko adalah konsekwensi bagi orang terpilih, keraguan adalah bara yang selalu mengajak kita untuk tidak berapa-apa.
Semua berawal dari mimpi, dan kerja keras
Yakin Usaha Sampai

* disampaikan pada seminar : membangun dan membakitkan kader nasionalisme, pada 25 Maret 2012

Azis Ashari El-Maulana; Pamekasan, 22 Maret 1985. Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel angkatan 2009, bekerja di: Staf Khusus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kab. Pamekasan, Badan Amil Zakat (BAZ) Kab. Pamekasan, Direktur Koperasi Syariah Marinal Insan Prima. Organisasi: Sekretaris Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Pamekasan, Wasekum KNPI Pamekasan, Pemuda Pancasila Pamekasan, dll.
Sudirman yang pada masa pendudukan Jepang menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas, ini pernah mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Jenderal yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi, ini akhirnya harus meninggal pada usia yang masih relatif muda, 34 tahun.
Baik ia sebagai pelajar, mahasiswa, pns, maupun pemuda secara umum
Jika semua ini dapat diwujudkan selama kita hidup, maka kita telah mencapai maqam Insan Kamil atau Insan Cita atau Imam Mahdi; manusia yang oleh Allah disebut sebagai khalifah fil’ard. Manusia ini dirindukan oleh banyak orang sebagai pemimpin yang adil, bijaksana dan memperhatikan kepentingan umat dan bangsa.
Segala hal yang dapat menjadi ruang pengabdian diri terhadap bangsa, baik dibidang pendidikan, social, ekonomi, kesehatan, politik, birokrasi dan sebagainya.
Seperti bernaung disuatu wadah organisasi, yang memiliki visi-misi sehat. Sehingga lingkup gerakan, kajian lebih terarah dan terencana.