Minggu, 13 Maret 2011

TRADISI FIKIH MUHAMMADIYAH

MAKALAH

TRADISI FIKIH MUHAMMADIYAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pemikiran Hukum Islam di Indonesia

Oleh:
AZIS ASHARI
NIM: FO2409099

Dosen pengampu:
Prof. DR. H. ALI HAIDAR, MA

PASCASARJANA
INSTITUTE AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SUNAN AMPEL SURABAYA
JURUSAN SHARI’AH

KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم

Alhamduli ٍAllah Rob al-Alamin, puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT., yang telah melimpahkan Taufiq, Hidayah serta Inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini meski dengan banyak kekurangan. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahlimpahkan kepada Nabi Muhammad Rasulullah SAW., yang telah berhasil dengan sukses membawa ummat manusia ke jalan yang benar.
Penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk mengkaji keberagamaan warga Muhammadiyah. yang selama ini dianggap elitis dan tekstualis. Adapun mengenai permasalahan yang diangkat dengan tema Tradisi Fikih Muhammadiyah dalam rangka menguak tujuan dari penyusunan makalah ini.
Namun demikian makalah ini tidak hanya membahas persoalan tradisi fikih dikalangan warga Muhammadiyah, tetapi juga membahas latar belakang pendiri Muhammadiyah, proses lahirnya Muhammadiyah, gerakan Muhammadiyah hingga tradisi fikih. Sebab menurut hemat penulis kesemua bahasan ini memiliki kaitan yang erat. Semoga makalah yang sangat jauh dari sempurna ini paling tidak memberikan pengetahuan awal tentang tradisi syariat di Muhammadiyah. karena penulis bukanlah orang Muhammadiyah maka tentu pengetahuan penulis akan Muhammadiyah sangat jauh dari sempurnan. Untuk itu penulis senantiasa memohon masukan dan kritikan yang membangun.

penulis

BAB I
PENDAHULUAN

Persyarikatan Muhammadiyah adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1912. Organisasi ini berdiri pada mulanya karena kegelisahan seorang Ahmad Dahlan melihat kondisi masyarakat pada saat itu yang keberagamaannya menurutnya sangat jauh dari nilai-nilai islam. Ia melihat sinkretisme dalam tubuh masyarakat, hal tersebut disebabkan berbagai faktor dari situasi dan kondisi yang melatarbelakangi pada saat itu.
Keilmuan yang dimilikinya kemudian memberikan kontribusi yang signifikan bagi lahirnya Muhammadiyah serta proses gerakannya hingga hari ini.
Sampai saat ini warga Muhammadiyah telah tersebar diseluruh nusantara. Doktrin keagamaan Muhammadiyah termaktub dalam Himpunan tarjih Muhammadiyah. Himpunan ini merupakan pendapat Muhammadiyah mengenai berbagai persoalan keagamaan dan kemasyarakatan yang muncul ditengah masyarakat. Himpunan ini dalam praktiknya telah menjadi rujukan Muhammadiyah dalam mengimplementasikan ajaran agama sesuai paham yang di anut Muhammadiyah. Namun Himpunan ini rupanya belum mengakomodasi warga Muhammadiyah sebab -menurut Al-Hafidzi dalam artikelnya Menggagas Fikih Muhammadiyah- belum terkodifikasikan dengan baik dan sosialisasi yang kurang maksimal dikalangan warganya, akibatnya, praktik keagamaan di akar rumput warga Muhammadiyah cendrung menunjukkan variasi yang beragam.
Sebuah penelitian yang dilakukan Abdul Munir Mulkhan untuk disertasi doktornya Gerakan Pemurnian Islam di Pedesaan (Kasus Muhammadiyah) menunjukkan temuan yang mengejutkan: bahwa tidak seperti yang diduga selama ini, Muhammadiyah ternyata bukanlah entitas yang homogen. Ada empat varian anggota Muhammadiyah menurut temuannya. Pertama, kelompok Mukhlisun (Islam murni yang puritan); kedua, kelompok Kiyai Dahlan (Islam murni tapi toleran terhadap praktik TBC (takhayul, bid’ah, dan khurafat) yang dilakukan kelompok lain; ketiga, kelompok Manu (Muhammadiyah-NU atau neotradisionalis); dan keempat, kelompok Munas (Muhammadiyah nasionalis) atau Marmud (Marhaenis-Muhammadiyah).
Temuan Dr. Abdul Munir Mulkhan menjadi sebuah sintesa bahwa dalam persyarikata Muhammadiyah belum tedapat patokan yang baku terutama dalam persoalan fikih yang mengatur tatacara beribadah segenap warga Muhammadiyah.
Putusan Tarjih Muhammadidyah merupakan hasil “ijtihad” yang dilakukan persyarikatan ini mengenai berbagai persoalan yang muncul di tengah masyarakat yang memerlukan fatwa keagamaan. Setiap masalah mencoba dilihat dengan kacamata Muhammadiyah, lalu diambil putusan yang dianggap paling tepat untuk dipedomani warganya. Untuk itu, sebuah majelis dibentuk guna membidangi masalah tersebut, yakni Majelis Tarjih dan Tajdid, sebuah nama yang sangat kental berkonotasi ijtihad. Persoalannya, sudahkah “ijtihad” yang dilakukan Muhammadiyah memberikan jawaban tuntas terhadap kebutuhan spiritual dan kultural warganya, juga tuntutan zamannya?

BAB II
PEMBAHASAN

A. LATAR BELAKANG BERDIRINYA MUHAMMADIYAH
Berdirinya persyarikatan Muhammadiyah tidak bisa dilepas pisahkan dari sosok KH. Ahmad Dahlan. Seluruh latar belakang kehidupan KH. Ahmad Dahlan sangat melatar belakangi berdirinya Muhammadiyah ini. Bahkan menurut Kamal Pasha andai kata pada tahun 1868, Mohammad Darwisy (nama KH. Ahmad Dahlan sebelum naik haji ke Makkah) tidak dilahirkan, maka tidak akan ada organisasi Muhammadiyah.
KH. Ahmad Dahlan dilahirkan di kauman Yogyakarta pada tahun 1285 H. Yang bertepatan tahun 1868 M. Dengan nama Mohammad Darwisy. Ayahnya KH. Abu Bakar bin KH. Moh. Sulaiman yang memiliki garis keturunan sampai ke Maulana Malik Ibrahim, adalah pejabat kapengolon kesultanan Yogyakarta Hadiningrat dengan gelar Penghulu khatib di masjid besar kesultanan. Sedangkan ibunya Nyai Abu Bakar adalah puteri KH. Ibrahim bin KH. Hasan juga pejabat kapengulon kesultanan di Yogyakarta.
Moh. Darwisy memperoleh pendidikan agama pertama kali dari ayahnya sendiri sambil belajar kepada ayahnya ia menjalani pergaulan dan pendidikan pesantren yang mencerminkan identitas diri santri. Pada waktu itu masalah identitas menjadi persoalan yang serius dikalangan bumi putera, sehingga boleh dikatakan anak-anak kauman tidak ada yang berani sekolah Gubernemin, karena akan dicap sebagai kafir. Pandangan yang berkembang masa itu dilingkungan kaum santri terhadap penjajah kolonial belanda adalah kafir, barang siapa mengikutinya maka iapun termasuk didalamnya. Begitulah jiwa zaman yang dominan pada saat itu dan sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian masyarakat. Karena itu Darwisy kecil senantiasa mengaji al-quran, hadis, fikih, dan tata bahasa Arab seperti nahwu, sharraf dan ilmu-ilmu lainnya. Kegiatan itu adalah kebiasaan yang hampir setiap hari dilakukan kalangan anak-anak kiyai di kauman.
Ketika Moh. Darwisy berumur 15 tahun (1883 M) ia memutuskan berangkat ketanah suci makkah untuk menunaikan ibadah haji yang dibiayai oleh kakak iparnya yang bernama KH. Sholeh. Ia seorang kiyai dan seorang saudagar kaya raya. Darwis muda rupanya juga berniat untuk belajar agama islam secara lebih mendalam di tanah suci. Niatnya untuk belajar segera terlaksana seusai melaksanakan ibadah haji, iapun menetap di makkah untuk belajar agama dengan sungguh-sunggubh. Setelah lima tahun mukim dan menjadi murid para syaich dan ulama terkemuka di makkah iapun pulang kekampung halaman di Yogyakarta. Sepulang dari tanah suci makkah seperti kebiasaan –mengubah nama- yang dilakukan para jemaah haji yang baru kembali dari tanah suci ia memilih nama Ahmad Dahlan sebagai nama barunya. Ia menikah dengan siti Walidah binti KH. Fadhil yang kelak sebagai Nyai Dahlan, yang masih saudara dari garis ibunya.
Selama lima tahun pertama di tanah suci makkah, Ahmad Dahlan banyak memperoleh pengalaman hidup yang berharga terutama menyangkut soal pemahamannya terhadap perkembangan dunia pemikiran islam dan informasi tentang keadaan maju mundurnya masyarakat islam diberbagai belahan dunia.
Diantara kitab-kitab yang sempat tercatat sebagai kesukaan serta disebut-sebut sebagai bacaan yang memberi inspirasi beliau dalam perjuangan yang dipilihnya kemudian ialah: kitab tauhid, tafsir juz amma, dan al-islam wan nashraaniyyah, karangan syaich moh. Abduh., tafsir al-manar dan majalah al-urwatul wutsqa, karangan sayyid rasyid ridha., kitab tanzul ulum., kitab-kitab fil bid’ah antara lain kitab at-tawassul wal wasilah karangan ibnu Taimiyah., dairatul maarif karangan Farid Wajdi., kitab idharulhaq karangan Rahmatullah Al-Hindi., kitab-kitab hadis karangan ulama madzhab-madzhab hambali., tafshilun nasyatain takhshilussya’adatain., matan al-hikam li’atha illah., al-qashaid ‘aththasiyah, li ‘Abdullah al-Aththas dll.
Sebagai pribadi yang cerdas dan memiliki pengetahuan yang luas, walau usianya baru 20 tahun, iapun mulai merintis jalan pembaharuan dikalangan umat islam. Misalnya sepulang dari makkah membetulkan arah kiblat salat pada masjid yang dipandang tidak tepat arahnya yang sesuai perhitungan menurut ilmu falakiyah yang dikuasainya. Usaha ini sempat menimbulkan insiden yang hampir saja ia dan isterinya meninggalkan kauman yogyakarta selama-lamanya menuju luar kota. Kemudian memberikan pelajaran agama disekolah negeri yang tidak pernah dilakukan oleh kiyai lainnya. Menganjurkan memberikan perhatian terhadap kaum dhua’afa’, anak yatim, kehidupan dan perlindungan lahir bathin, serta untuk kalangan fakir miskin.
Sikap dan perilaku KH. Ahmad Dahlan yang berhaluan modernis itu mulai dikenal secara luas sebagai orang muda yang rasional dan kritis terhadap agama. Kehadirannya telah menarik perhatian sejumlah kalangan kiyai disekitarnya dan kalangan priyai yang terlibat pergerakan dan pendidikan.
Ketekunannya terhadap ilmu agama dan keprihatinannya terhadap keadaan umat islam yang ia jumpai diberbagai kota dijawa telah memperkuat semangat belajarnya untuk lebih mendalam lagi serta meneguhkan cita-citanya agar segera melakuakn perubahan kehidupan keagamaan. Karena itulah pada tahun 1902 M, ketika usianya menginjak 34 tahun beliau memutuskan berangkat lagi ke makkah, kesempatan ini ia betul-betul pergunakan waktunya untuk meningkatkan kefaqihan agamanya dan memantapkan pendirian hatinya menjalani hidup untuk berkhidmat menegakkan agama serta memperbaiki umat islam ditanah air.
Himmah yang bersemayam didalam hati sanubarinya telah mempertemukan dirinya dengan ulama besar dari Mesir Syaich Moh. Rasyid Ridha melalui kerabatnya yang telah lama menatp di Makkah, yaitu KH. Baqir. Pertemuannya dengan Syaich Moh. Rasyid Ridha ia pergunakan untuk belajar dan berdiskusi secara langsung tentang pembaharuan yang dilakukan di Mesir serta lainnnya. Rupanya dua tahun bermukim di makkah banyak dilakukan perjumpaan dengan berbagai ulama’ besar yang berasal dari tanah air yang menganjurkan gerakan pembaharuan keagamaan, seperti Syaich Ahmad Khatib dari minagkabau dan lainnya. Setelah dua tahun lamanya ia segera kembali ketanah air tepatnya pada tahun 1904 M., namun beberapa waktu kemudia sekembalinya dari makkah ayahnya meninggal dunia KH. Ahmad Dahlan diangkat sebagai pejabat agama (penghulu) dilingkungan kapengulon kesultanan yogyakarta dengan gelar khatib Amin.
Selain menjabat sebagai kahtib amin ia juga sebagai ulama yang berhaluan modern, guru pendidik agama islam yang lembut, serta organisator yang cerdas dan tangkas. Ia dipercaya untuk mengajarkan dasar-dasar agama islam disekolah-sekolah negeri, seperti disekolah guru atau kweekschool sering disebut sekolah raja di jetis yogyakarta., sekolah pamong praja atau osvia (oplaidingschool voor inlandsch ambtenaren) di magelang dan lainnya.
Dengan tugas-tugas yang dilakukan itu telah memperluas lingkungan pergaulannya yang sangat bermanfaat bagi terlaksannnya gagasan yang sedang dipikirkannya. Pengalaman terlibat dalam dunia sekolah dan cita-citanya yang ingin memperbaharui umat islam lewat perubahan pemikiran sikap dan perilaku memutuskan bahwa ia harus segera mendirikan sekolah agama, tetapi juga didalamnya diajarkan mata pelajaran umum.
Setelah melakukan salat istikharah berkali-kali dan menyampaikan gagasan-gasannya kepada beberapa orang sahabat dan sejawatnya yang aktif dalam pendidikan dan pergerakan Budi Utomo akhirnya ia memperoleh ilham mendirikan sebuah sekolah dengan nama “sekolah Muhammadiyah” yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama tetapi ilmu pengatahuan umum dan huruf latin. Selanjutnya bagaikan bola salju yang digelindingkan maka semakin lama makin besar bola itu. Demikian pula dengan perkumpulan atau organisasi persyarikatan Muhammadiyah yang baru didirikan pada tanggal 8 dzulhijjah 1330 H./18 November 1912 M. Di yogyakarta, segera disambut hangat oleh para kiyai dan ulama diberbagai kota di jawa dan minangkabau. Secara umum pemikiran KH. Ahmad Dahlan senantiasa memberikan warna terhadap Muhammadiyah.
Secara etimologis, nama Muhammadiyah berasal dari kata “Muhammad” yaitu nama Rasulullah SAW. Dan diberi tambahan ya nisbah dan Tha’ marbutoh yang berarti pengikut Nabi Muhammad SAW. Ahmad Dahlan, pendiri Organisasi Muhammadiyah menjelaskan; Muhammadiyah bukanlah nama perempuan melainkan berarti Umat Muhammad, pengikut Muhammad, Nabi utusan Tuhan yang penghabisan. Sementara secara terminologis, Muhammadiyah diartikan sebagai identifikasi dari orang-orang yang berusaha membangun diri sebagai pengikut, penerus dan pelanjut perjuangan dakwah Nabi Muhammad serta membina kehidupan manusia yang islami.

B. DOKTRIN MUHAMMADIYAH
Pada dasarnya faktor pendorong kelahiran Muhammadiyah bermula dari beberapa kegelisahan dan kprihatinan sosial religius, dan moral. Kegelisahan sosial ini terjadi disebabkan oleh suasana kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan ummat. Kegelisahan religius adalah; sikap beragama kaum Muslimin yang bercampur dengan kepercayaan animistik, pendidikan Islam yang membentuk pola taqlid buta (bukan hanya terhadap imam mazhab) namun juga sampai kepada guru atau syaikh-syaikh mereka.
Menurut Prof. Dr. Amin Rais Doktrin Muhammadiyah pada saat lahir dikenal dengan doktrin pencerahan umat. hal itu disebabkan oleh kegelisahan sosial dan religius tersebut. Maka dalam mengimplementasikan doktrin ini Muhammadiyah kemudian mendirikan sekolah-sekolah untuk mengubah paradigma masyarakat pada saat itu sehingga mereka tidak terbelenggu oleh kebodohan dan keterbelakangan.
Selain itu Cita-cita awal yang ingin diwujudkan oleh Dahlan melalui Muhammadiyah meliputi aspek-aspek tauhid, ibadah, mu’amalah dan pemahaman ajaran Islam yang bersumber langsung pada Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam bidang tauhid, Kyai Dahlan ingin membersihkan aqidah Islam dari segala macam kemusyrikan atau perbuatan syirik, dalam bidang ibadah, membersihkan cara-cara ibadah dari bid’ah, dalam bidang mu’amalah, membersihkan kepercayaan dari khurafat, dalam bidang pemahaman terhadap ajaran Islam, ia merombak perbuatan taqlid untuk kemudian memberikan kebebasan dalam ber-ijtihad. Maka pendidikan menjadi media paling efektif untuk mewujudkan hal tersebut.
Pemikiran KH. Ahmad Dahlan menjadi duktrin Muhammadiyah secara umum yang diimplementasikan dalam gerakan Muhammadiyah pada saat itu. Dalam bidang pendidikan Muhammadiyah menerima “pola” barat, seperti penggunaan bangku, kurikulum umum, seperti matematika dsb.
Dibidang akidah, berdasarkan putusan tarjih, teologi Muhammadiyah lebih dekat ke faham Jabariah karena Muhammadiyah sangat menonjolkan kehendak mutlak Tuhan dan ketidak bebasan manusia dalam memilih perbuatannya, serta memberikan daya yang kecil terdapa akal untuk memahami masalah-masalah akidah.
Dalam masalah sumber hukum , Muhammadiyah menjadikan al-qur’an dan as-sunnah sebagai sumber hukum pertama dan kedua dalam berijtihad, dan dalam pengambilan hukum Muhammadiyah lebih mendahulukan nash (literalis) dari pada akal.
Muhammadiyah juga mengakui bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan Muhammadiyah senantiasa melakukan ijtihad. Adapun bentuk ijtihad yang dilakukan Muhammadiyah adalah ijtihad jama’i yaitu suatu proses ijtihad yang melibatkan suatu majlis tarjih dan pihak-pihak tertentu yang dinilai telah memenuhi kriteria sebagai mujtahid. Hasil-hasil ijtihad kemudian dijaga dan dilestarikan melalui pendidikan formal dan keputusan formal organisasi yang disebut dengan Himpunan Putusan Tarjih. Keputusan ini mengikat anggota perserikatan untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pemikiran moderat KH. Ahmad Dahlan sangat dipengaruhi oleh ulama’-ulama’ timur tengah terutama Syaich Mohammad Abduh dan Syaich Jamaluddin al-Afghani. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan juga terdapat banyak kesamaan dengan Ahmad bin Hambal terutama dalam hal TBC.

C. TRADISI FIKIH MUHAMMADIYAH
Secara umum Muhammadiyah tidak memiliki fikih yang baku sebagaimana dianut oleh NU. Dalam tradisi NU misalnya, pada bidang fiqih mereka memiliki buku-buku — yang dikenal dengan sebutan kitab kuning— seperti Path al-Qarib, Path al-Mu’in, Fanah at-Thalibin, Ihya Ulumuddin dan sebagainya. Sehingga mereka terorganisir dan diajarkan secara ketat dikalangan Nadliyyin melalui madrasah-madrasah dan pengajian (muslimat) rutin. NU telah menclaim bahwa ia adalah bermadzhab syafi’ie.
Namun di Muhammadiyah fikih tidak dikenal. Sebab tidak ada rujukan kitab fikih sebagaimana ditradisikan NU. Bahkan pada lembaga pendidikan formal Muhammadiyah Himpunan Putusan Tarjih (HPT) tidak diajarkan. Meski Muhammadiyah dalam ibadah dan muamalah menggunakan hasil keputusan majelis tarjih, dikalangan Muhammadiyah sendiri masih berbeda rupa terutama dalam menyangkut Muamalah. Hal tersebut menjadi indikasi bahwa HPT masih belum mengikat secara penuh terhadap warganya. Oleh karenanya menjadi benar apa yang pernah diungkapkan oleh Abdul munir Mulkhan dalam penelitiannya.
Dalam gagasan dasar Muhammadiyah mengklaim sebagai gerakan pembaharuan yang tidak mau terjebak pada polarisasi madzhab. Oleh karenanya Muhammadiyah kemudian membuat rumusan metodologi manhaj tarjih. Metodologi manhaj tarjih yang dirumuskan dan diimplementasikan oleh Muhammadiyah tentu meliputi seperangkat metode, pendekatan atau kerangka berpikir. Maka dengan sendirinya apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah mengarah pada pembentukan madzhab baru. . tapi sampai saat ini secara organisasi Muhammadiyah tidak pernah menyatakan bermadzhab. Meski Muhammadiyah secara idiologis memiliki kesamaan dengan Madzhab hambali tapi menyangkut fikih Muhammadiyah tidak bermadzhab Hambali. Namun demikian, bagi warga Muhammadiyah yang merujuk pada pemikiran Madzhab Hambali dalam Ibadah atau Muamalah tidak menjadi persoalan.

D. TARJIH
Kata tarjih di derivasi dari bahasa arab. ‘tarjih’ merupakan bentuk masdar dari kata rajjaha yang secara etimologis berarti memberi pertimbangan lebih terhadap sesuatu dari pada yang lain. Secara terminologi terdapat perbedan dalam mendefinisikan kata tersebut, meski mengacu pada upaya yang dilakukan mujtahid untuk mengemukakan satu diantara dua jalan yang berbeda, karena ada kelebihan obyektif untuk dilakukan pentarjihan tersebut. Dengan ungkapan senada, Muhammadiyah mendefinisikan dengan memilih pendapat yang terkuat diantara pendapat-pendapat yang ada.
Tarjih seyogyanya sebagai landasan ‘fikih’nya Muhammadiyah. namun demikian HPT ini masih belum bisa disebut sebagai fikih karena tidak secara rinci membahas persoalan ke-fikih-an. HPT hanya merupakan himpunan Hujjah yang di tarjih dari berbagai persoalan yang ada dan berkembang dikalangan masyarakat.
Dikalangan warga Muhammadiyah, masih terdapat variasi ‘fikih’ sebagaimana yang diungkapkan Abdul Munir Mulkhan- baik dalam bidang akidah, muamalah dan ibadah. Sebagian dari mereka Jabariah dalam akidah, sebagian yang lain Mu’tazilah. dan lebih dekat pada Madzhab Hambali dalam fikih. Namun demikian secara umum –dalam fikih- Muhammadiyah tetap mengacu pada al-Qur’an dan Hadis.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Muhammadiyah organisasi yang pada awalnya didirikan untuk mengembalikan keyakinan (agama) masyarakat kepada agama yang sesungguhnya. Yang terbebas dari singkretisme, terutama dari Tahayyul, bid’ah dan khurafat yang telah menyebabkan masyarakat terbelakang pada saat itu. Selain itu dengan tujuan untuk mencerahkan masyarakat, oleh karenanya Muhammadiyah pada mulanya lebih aktif bergerak pada bidang pendidikan. Konsep perjuangan Muhammadiyah seutuhnya merupakan pemikiran KH. Ahmad Dahlan. Dan merupakan ‘warisan’ dari Hambali, Jamaluddin Al-Afgani dan Muhammad Abduh
Dari waktu kewaktu warga Muhammadiyah semakin bertambah dan hampir ada diseluruh pelosok negeri. Semakin banyaknya warga Muhammadiyah ini menyebabkan semakin banyaknya persoalan yang dialami masyarakat. Maka untuk menampung dan mencarikan jalan keluar atas segala persoala tersebut-terutama dalam akidah dan syariat, maka dibentuklah Majelis Tarjih pada tahun 1961.
Sejatinya Majelis tarjih diperuntukkan untuk memberikan tuntunan amalan islam murni kepada warga Muhammadiyah. adapun tuntunan itu terformulasikan pada Himpunan Putusan tarjih yang dapat diamalkan setelah di-tanfidzkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Namun HPT ternyata masih belum mengakomodasi seluruh kepentingan warga Muhammadiyah. oleh karenanya dikalangan Muhammadiyah muncul beragam variasi menyangkut syariah. Sehingga mengamalkan HPT menjadi semacam ‘Sunnah’ dan warga Muhammadiyah ‘boleh’ mengambil pendapat lain yang sejalan dengan al-Qu’an dan al-hadis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Muhammadiyah sampai saat ini tidak bermadzhab.

DAFTAR PUSTAKA

Himpunan Putusan Tarjih. Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Tarjih.(Yogyakarta 1967)
Jamill,Mukshin dkk. Nalar Islam Nusantara, studi islam ala Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis dan NU. (Cirebon: Fahmina Insstitute 2008).
Manhaj Pengembangan Pemikiran Islam Muhammadiyah. hasil Musyawarah Nasional Tarjih 2000.kamal Pasha, Musthafa, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam Perspektif Historis Dan Idiologis). (Yogyakarta: pustaka pelajar 2000)
Rais, Amin, Tauhid Sosial: Doktrin Perjuangan Muhammadiyah. (Jurnal media inovasi: 1/1996)
Yusuf, Yunan dkk. Ensiklopedi Muhammadiyah, (jakarta : PT Raja Gravindo Persada 2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar